Kerendahan Hati Para Ulama

Memang fitrahnya manusia, yang senang jika dihormati, yang
marah ketika dilecehkan, memang kita merasa bahwa kita memiliki harga diri yang
harus dihormati oleh semua orang. Kita mati-matian melakukan apapun supaya
kita dihormati orang, dan mengancam orang yang menganggap remeh kita, banyak
orang yang berusaha sekuat mungkin untuk mencapai hal itu, dihormati semua
orang, di elu elu kan, melakukan berbagai cara, mulai dari sekolah setinggi
mungkin, lalu mencari pekerjaan, dapat uang, menjadi kaya dan sukses, semua itu
dilakukan semata-mata untuk mendapatkan penghormatan dari orang lain, lalu
setelah didapatkan semua itu, dihormati semua orang, di elu elukan dan dia
mearasa bahwa dia yang paling baik, dan semua orang adalah buruk dan lebih
rendah dari diri nya.
Karena saking hausnya kepada penghormatan, setelah
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan penghormatan, banyak orang menjadi
sombong dan angkuh dengan dirinya, menolak semua kebenaran, meremehkan orang
lain, dan bersikap “bahwa saya yang paling tahu dan yang paling benar”.
Sudah banyak contoh dan bukti bahwa semakin tinggi kedudukan
dan pengetahuan seseorang, semakin besar pula kesombongan orang tersebut, yang
sangat tidak sesuai dengan pepatah “Ibarat padi, semakin berisi, semakin
menunduk”.
Namun pepatah itu agaknya lebih sesuai jika kita sandingkan
dengan kisah para ulama dan wali-wali Allah dimuka bumi ini. Seperti yang
penulis alami langsung ketika belajar dengan seorang professor ternama dan ahli
bahasa arab, beliau bernama syekh Abdul Fathi, yang merupakan seorang
professor, dosen Universitas Al-Azhar yang sangat ternama.
Suatu hari, tatkala kami sedang belajar di sebuah masjid,
syekh Abdul Fathi sedang menjelaskan kepada kami tentang faidah dan keutamaan
bahasa arab dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainya dimuka Bumi, ketika
pengajian sedang berlansung, masuklah seorang syekh memakai jubah yang kira
kira berumur lima puluhan –penulis tidak tahu siapa nama nya- ke dalam masjid,
ketika beliau berada di pintu masuk masjid, terlihat beberapa orang menyalami
dan ta’zim kepada beliau, penulis mengira syekh ini bakalan mengajar kepada
murid muridnya juga disisi lain masjid, dan penulis pun mengalihkan pandangan
kepada syekh abdul fathi yang menjelaskan pelajaran.
Namun hal yang tidak penulis duga terjadi, syekh yang baru
masuk kedalam masjid itu langsung duduk bersama kami, dan ikut mendengarkan
penjelasan syekh Abdul Fathi tersebut, penulis bersama para muridpun terkejut,
begitu juga dengan syekh Abdul Fathi yang langsung terdiam melihat rekannya
sesama ulama duduk dilantai bersama para murid sedangkan beliau duduk di atas
kursi.
Setelah diam cukup lama, syekh Abdul Fathi pun
mempersilakan syekh tersebut untuk duduk di sampingnya, namun syekh itu
menolak dengan senyuman, dan mempersilakan syekh Abdul Fathi untuk melanjutkan
pelajaran. Setelah itu syekh Abdul Fathi pun melanjutkan pelajaran.
Tidak hanya itu, setelah selesai pengajian, syekh itu
langsung ke depan dan mencium tangan syekh Fathi, syekh Fathi pun membalas dengan
mecium tangan tersebut juga.
Takjub dan terkesima, maka penulis pun langsung mengabadikan
momen yang luar biasa ini, walaupun hasilnya kurang maksimal, karena jepretan
itu bersifat spontanitas.
(Syekh Abdul Fathi Hijazi (Kiri)
membalas salaman Seorang Syekh)
Begitulah kerendahan hati para ulama, yang keilmuan dan
pengetahuannya tidak diragukan lagi, sudah diakui dan teruji, namun tidak
gengsi atau malu untuk belajar dengan teman sejawatnya yang sama-sama ulama,
bahkan duduk bersama para murid murid beliau.
Itulah sosok seorang ulama, sang pewaris nabi, akhlaknya
mulia, ilmunya setia dan terbuka serta kemuliaannya bertambah tatkala beliau
merendahkan hati.
Sangat jarang kita lihat sosok sekelas professor yang
seperti ini, bahkan banyak yang calibernya tidak seperti syekh ini, namun
sombongnya luar biasa hebat, maka marilah kita lihat kisah-kisah para ulama
yang seperti ini. Apalagi jika ada seseorang yang masih berstatus sebagai
murid, namun sudah berani membangkang kepada seorang guru, maka itu sama saja
dengan membakar habis semua ilmu yang pernah diajarkan oleh gurunya tersebut.
Sengaja penulis tuliskan kisah dua orang ulama ini, yang
merupakan contoh hidup, masih hidup pada zaman sekarang, karena banyak orang
yang berdalih “itukan dulu” dan berbagai macam alasan lainya yang merendahkan
para ulama, sekarang ini beliau berdua masih hidup dan masih mengajar.
Itulah nikmatnya menjadi penuntut ilmu, tidak hanya ilmu
yang didapat, melainkan juga contoh dan tauladanpun didapat di dalam majlis
ilmu bersama para ulama. Seperti ada kata pepatah dari seorang ayah ke anak nya
“nak, janganlah kau besedih jika engkau tidak mengerti dengan ilmu yang guru
engkau jelaskan namun tidak hanya ilmu yang kau cari disana, melainkan juga akhlak
dan adab para ulama yang dapat engkau pelajari disana".
Tareq Albana Dari Negeri Seribu Menara, Kairo-Mesir
0 komentar: