Tujuh Semester, Dua Negara
Source: muhammadfadli.com
Setahun yang lalu, saya tiba di Nanjing, kota
dimana saya saat ini berkuliah. Ini sudah tahun ke-empat perkuliahan, setelah
sebelumnya dua tahun saya berkuliah di Jogja. Iya, Saya mahasiswi double degree dua negara.
Dua tahun di Jogja mengajarkan banyak hal.
Hari pertama saya tiba di Jogja, saya disuguhi makanan burjo, semacam warteg
yang pas dengan kantong mahasiswa. Makanan nya manis, tapi tingkat kepedasan cabe
nya boleh diadu dengan sambal manapun. Budaya
yang sangat berbeda dengan budaya asli saya, yaitu Padang. Setiap saya
belanja di warung atau toko, penjual baik tua dan muda pasti memanggil saya
dengan “mbak e” ah kurang sopan apa
penduduk kota ini. Jogja juga terkenal dengan UMR yang rendah, tidak heran
harga barang, makanan dan lain lain tergolong murah. Apalagi untuk sekelas
mahasiswa, masih bisa kenyang dengan duit sepuluh ribu sudah ditambah es teh
pula. Jogja itu juga romantis, bahkan penjual gudeg pun ikut-ikutan romantis.
Tahun pertama kuliah, adalah tahun terberat
bagi saya. saya harus beradaptasi dengan banyak hal, beradaptasi dengan
lingkungan, namun yang paling terpenting adalah beradaptasi menjadi mahasiswa.
Banyak hal gila yang saya lakukan dalam hidup, salah satunya mengambil program
internasional dikampus, dimana saya tidak pandai berbahasa inggris secara lisan
sementara di kelas wajib berbahasa inggris. Saya berusaha keras memahami
penjelasan dosen yang berbahasa inggris dengan sangat fasih, tidak jarang saya
rekam dengan handphone dan kabar
buruknya saya masih tidak paham. Saya harus membaca buku kuliah yang tebalnya
beratus-ratus halaman, yang mana setiap sejam saya membaca, empat puluh lima
menitnya saya habiskan membuka kamus karena tidak paham vocabulary. Begitulah seterusnya sampai saya benar-benar terbiasa
seperti saat ini. saya selalu mengasah bahasa inggris dengan banyak berlatih,
bahkan beberapa kali saya sempatkan ke Pare “kampung inggris” disaat
teman-teman lain sedang asik liburan. Tak
ada badai yang tak berlalu, bahasa inggris pun sudah menjadi hal biasa bagi
saya saat ini.
Bukan mahasiswa Jogja namanya kalau belum join organisasi kampus. Saya memutuskan untuk mengikuti organisasi
eksternal yang mana sebenarnya saya lebih merasa diculik dan tersesat ketimbang
bergabung dengan sukarela. Hingga akhirnya, saya merasa organisasi ini adalah
rumah teduh yang selalu siap menampung pemikiran bodoh dan idiot saya, dan juga
rumah untuk pulang. Disini saya banyak belajar tentang dunia nyata dan sangat
realistis. Saya terbiasa berdiskusi mulai dari urusan kenegaraan hingga urusan
receh, demo aksi setiap hari buruh atau memprotes kebijakan pemerintah. Tidak
jarang saya ikut mengadakan event-event kampus,
dan belajar mencari uang sendiri untuk pendanaan acara. Mulai dari berjualan
gorengan di kampus setiap hari yang mengharuskan saya bangun pagi-pagi untuk
berbelanja di pasar, menghabiskan malam minggu untuk berjualan bunga di Malioboro
kepada muda-mudi yang sibuk ngapel dan
diapelin, mencari sponsor-sponsor
dari kantor ke kantor hingga ngemis-ngemis
ke alumni, sang kakak yang sudah sukses dan punya uang banyak. Pada hari saya berjuang untuk mencari
uang-uang itu, saya sangat rindu.
Memasuki semester empat, saya mengalihkan kesibukan dari sibuk
organisasi kepada sibuk mempersiapkan studi untuk keluar negri saya, China. Di
semester ini saya diwajibkan untuk mengambil dua puluh enam sks, lima sks
diantaranya adalah independent study
yaitu program belajar privat dengan dosen. Progam ini diadakan khusus untuk
mahasiswa yang harus menyeleasikan sks belajarnya dengan beberapa alasan khusus,
terutama keluar negri. Saya mulai menghabiskan waktu dengan belajar, belajar,
dan belajar. Tak ada lagi main dengan teman organisasi, tak ada lagi event-event, tak ada lagi rapat sampai
pagi, tak ada lagi diskusi tentang negara. Dimana-mana saya belajar, di kedai
kopi, di indomaret, di perpustakaan, di kos, bahkan hari libur ketika orang
sibuk berlibur dan berkumpul dengan keluarga, lagi-lagi saya tetap belajar. Tidak
jarang saya harus mengejar-ngejar dosen untuk kuliah independent study. Saya masih ingat hampir setiap hari saya mencoba menemui dosen saya, namun sekretaris
beliau selalu bilang “bapak lagi rapat dikampus cik ditiro mbak, ditunggu aja”
”bapak belum datang mbak, ditunggu aja” saya menunggu di depan ruangan beliau
berjam-berjam, dari esok ke esok, dari minggu ini ke minggu besok. Mungkin
beginilah penderitaan mahasiswa yang mengejar dosen untuk bimbingan, saya sudah
melaluinya ternyata.
Empat semester saya lalui dengan sempurna. Sekarang saya resmi menjadi
mahasiswa Nanjing Xiaozhuang University. Tak ada lagi Jogja dihari saya
menginjakkan kaki di kota Nanjing, China. saya sepakat dengan kata Raditya
Dika, hidup adalah tentang perpindahan.
Semester lima, adalah semester pertama saya diluar negri. Saya kembali
mencoba beradapatasi dengan suasana baru, sama halnya pertama kali saya
beradapatasi dengan kota Jogja yang sangat saya cintai itu. Beberapa kali saya
mengalami cultural shock, mulai dari
bahasa yang saya tidak paham sama sekali, makanan yang penuh dengan minyak, beradaptasi
dengan empat musim yang tidak jarang membuat saya sakit setiap kali musim
berganti, beradaptasi dengan toilet umum yang ranjaunya berserakan dimana-mana,
hingga hal-hal aneh tentang orang China yang sering saya lihat di instagram
terjadi didepan mata saya sendiri, makan ular misalnya. Dibalik itu, saya paham betul, negara ini
adalah negara peradaban yang dimulai dari berabad-abad lalu dan masih
mempertahankan tradisi nya sampai hari ini. Tak peduli semodern apapun negara
ini, leluhur dan sejarah itu adalah hal utama yang harus diprioritaskan.
Dunia perkuliahan di kampus ini tidak begitu berbeda dengan perkuliahan
di Jogja, masih berbahasa inggris dan buku-buku yang lebih cocok jadi bantal
tidur. Tak ada organisasi pergerakan, mahasiswa bukan pengkritik pemerintah,
dan paling penting pemerintah tidak bisa dikritik. Bedanya, kuliah disini hanya
tiga bulan, dan sisanya libur. Saya selalu mengumpulkan uang jajan untuk
membeli tiket pulang ke indonesia. Seporsi makan, saya habiskan untuk dua atau
tiga kali makan. Tak pernah ada baju
baru, coat baru atau aksesoris dan
pernak-pernik lainnya. Saya benar-benar gila berhemat. Ada asalan kenapa saya selalu pulang setiap
libur musim dingin dan panas. Saya merencanakan projek untuk masa depan saya.
Kuliah saja tidak cukup, imbangi dengan organisasi dan magang. Saya
lupa ini kutipan siapa, tapi saya paham betul, ini mutlak kebenarannya.
Januari 2017, saya tiba di bandara internasional minangkabau, dijemput
oleh seseorang.
Pagi itu saya memakai baju putih dan celana hitam, saya bersiap ke
kantor pajak padang. Hari itu saya resmi menjadi mahasiswa magang. Beberapa
teman bertanya, kenapa saya tidak magang di China, kenapa magang di kantor pajak dan kenapa tidak lebih memilih
menjelajahi China ? dari seribu pertanyaan, saya bisa menjawab 1001 jawaban.
Beberapa alasan saya memilih magang Di Padang adalah; pertama, saya bisa
bertemu dengan keluarga. Kedua, China tidak me-legal-kan mahasiswa luar negri
untuk magang atau part time. Ketiga,
saya sangat ingin bekerja di kantor pajak ketika saya masih SMA. Keempat,
prinsip saya adalah, saya tidak akan liburan jika ibu saya masih sibuk banting
tulang mencari uang untuk sekolah saya dan kakak adik saya. kelima, sumatera
barat adalah tanah kelahiran saya, tempat saya pulang sejauh apapun saya merantau.
Saya sadar merantau membuat saya banyak membangun relasi dengan orang-orang
yang berada dibelahan dunia manapun, namun itu saja tidak cukup. Saya harus
banyak membangun relasi dengan orang di kampung halaman saya, karena bagaimanapun orang-orang ini lah yang berkemungkinan besar
menemani hari tua saya nanti. Magang bukan hanya sekedar magang untuk saya.
Dua bulan magang dikantor pajak mengajarkan banyak hal, sangat
realistis. Apa yang saya pelajari di
kampus, tak bisa saya aplikasikan di kantor. Karena di kampus hanya sebatas
teori secara umum, sementara di kantor semuanya benar-benar praktek dan teknis.
Liburan musim dingin berakhir, saya kembali ke Nanjing, china.
Saya memasuki perkuliahan seperti biasa lagi, di semester ini
benar-benar sibuk. Kuliah benar-benar sangat sulit dan melelahkan. Tiga bulan
kuliah saya kembali pulang ke Indonesia. Liburan musim panas ini saya
berkesempatan magang di dua kantor, Bank Indonesia dan kantor pos.
Lima bulan magang di kantor pajak, Bank Indonesia, dan Kantor Pos
benar-benar merubah pandangan saya tentang dunia. Saya tidak punya alasan
khusus setiap kali memasuki kantor, misalnya di kantor, saya yang notabene
jurusan akuntansi sering kali ditempatkan bukan di jurusan akuntasi dan saya
menikmatinya. Saya membiarkan magang memberikan kejutan dan pengalaman baru
untuk saya. semua pekerjaan saya lakukan, mulai dari menjilid laporan,
potokopi, menyusun laporan, menerima setoran, mencatat pemasukan. Semuanya,
yang bahkan tak ada hubungan nya dengan jurusan saya. bahkan tidak jarang
pegawai kantor sering curhat kepada saya. Beberapa kali saya mengalami “demam
kantor” ini istilah yang saya gunakan setiap kali saya sakit karena pekerjaan
di kantor. Mulai dari demam, flu, mata iritasi bahkan badan retak karena harus
duduk di depan komputer dari jam delapan pagi hingga empat sore. Sungguh melelahkan sekaligus menyenangkan.
Bersyukurnya, dibalik penderitaan itu saya selalu dikelilingi oleh
orang-orang yang saya sayangi. Mereka selalu siap megajak saya ngopi sepulang ngantor dan jalan-jalan
keluar kota setiap week end.
Hari ini, saya sudah semester tujuh. Artinya semester depan adalah
waktu akhir saya menjadi mahasiswa. Dua
tahun pertama kuliah, saya habiskan untuk kuliah dan organisasi. Dua tahun
berikutnya, saya habiskan untuk kuliah dan magang. Tak ada yang saya sesali,
saya merasa semuanya sudah sempurna, walaupun saya tahu, sebenarnya saya mampu
untuk lebih baik dari hari ini.
Jika berbicara tentang cita-cita, tujuan saya memang sedikit nasionalis.
Saya ingin menjadi budak untuk negara saya. Menjadi pekerja untuk negara saya
sendiri. Saya tahu, banyak tawaran yang menggiurkan di kota rantau ini, lebih
banyak pilihan, bahkan lebih dihargai. Namun, prinsip saya, sebaik-baiknya
mahasiswa rantau, adalah mahasiswa yang pulang ke tanah kelahiran dan membangun
negerinya sendiri.
28/09/2017 Nanjing, China
By: Pingky Pramai Sella
0 komentar: