Catatan
Rasa Dua Benua
Jejak
1: Keberangkatan
by: Hzakiyya
by: Hzakiyya
’’Huft, 29!” Hayya
bergumam, sudut matanya masih belum beranjak dari angka-angka balok yang
menunjukkan 23.59 pada layar jam digital
pintu kaca boarding room Doha’s Hamad
International airport. Perempuan itu
samar-samar menunggu jumlah detik yang
tersisa sebelum angka di kaca digital di depannya mundur paradok ke deretan
empat digit angka nol. Angka itu memang berubah mundur, tapi informasi
waktu yang diusung tetap mengalir maju kearah integer tak terbatas, jauh di
masa yang selalu bernama masa depan.
’’Dan ya! ucapkan selamat tinggal pada 29 Hayya!” katannya lagi,
berbicara pada hatinya sendiri.
Hmm haah, tarikan
napas pertama di usia yang baru mengisi penuh lumbung alveolinya. ’’Aroma yang
berbeda!” pikir Hayya, udara lembab bercampur keringat 12 jam yang lalu kini
berubah kering, beku dan dingin. Wajah-wajah sawo matang dengan postur tidak lebih dari 170 cm dalam jarak pandang
sudah berganti Kaukasian. Sebagian berdialog dalam bahasa yang masih tertangkap
telinga dan otomatis tercerna sensor-sensor pikirnya, tapi sebagian lain entah
berbicara apa. Ya, pesawatnya baru saja mendarat, dan akan kembali mengajaknya
membentangkan jarak dari negeri tempat rendang pertama berproduksi, ke titik
berat eropa, titik pusaran bangsa-bangsa yang mendaulat diri sebagai
negara-negara terbaik dunia, European
Union.
Sedikitnya 6 jam
lagi, roda pesawat akan menapak landasan pacu di negeri bekas jajahan Turki,
tempat parliament terbesar ke tiga di dunia bermukim. Bangunan Neo-Gothic yang
di perkirakan selesai pada awal abad ke 20 itu, memiliki luas 18.000 m2,
691 kamar dan 20 km panjang tangga jika digabungkan. Hungary, negara yang tidak
pernah terpikirkan untuk ia jajaki kini harus ia tinggali hingga mungkin empat atau
lima tahun kedepan. Kurikulum baru untuk mahasiswa doktoral mengharuskannya
mengambil skema 2+2 alias 4 tahun dengan maksimum masa studi yang diperbolehkan
adalah 5 tahun.
Pada penerbangan
kedua ini, Hayya mengambil kursi tepat di sebelah jendela. Ya mengambil bukan
mendapat, layanan check in online yang
sudah berbaik hati mengijinkannya memilih kursi. Teringat satu hari sebelum
keberangkatan Hayya beradu cepat dengan waktu dan signal provider yang kurang
bersahabat berburu kursi pinggir jendela. Dan tadaa! Here we are, tepat disamping jendela pesawat penumpang yang akan
mengantarnya ke kota berasitektur maha indah, Budapest. Dan di pesawat inilah Hayya
akan menghabiskan setengah malam terakhirnya. Dikira ribuan bintang akan
bertengger dijendelanya, ternyata tidak, hanya legam dan sesekali kerlipan
cahaya pesawat lain yang melintas dari kejauhan yang singgah di retinanya.
00.45 begitu
tertera di boarding pass yang ia
kantongi, penanda pintu gate terbuka.
”Masih tersisa ¾ putaran jarum panjang lagi,” pikir Hayya, diamini sepasang
kaki yang mulai melangkah berkeliling, kompak matanya menelanjangi satu demi
satu duty free shops yang berjejer
rapi disekitaran gates keberangkatan.
Relativitas Einsten berlaku, memerangkap pergerakan Hayya, gemerlap toko-toko
parfum mahal dan segala pernak pernik bermerk membuat waktu berputar cepat.
Benar kiranya aliran ilusi yang bernama waktu bisa mengembang dan mengempis
relatif terhadap rasa yang mengudara. Hayya terkejut saat melihat kembali jam
tangan digitalnya yang sudah menunjukkan 01.02, sontak ia berlari ke arah gate
keberangkatan. Pengeras suara mulai menyuarakan final call bagi para penumpang yang mungkin juga masih terpaku pada
etalase-etalase kaca, salah satu nama yang disuarakan adalah ”Mrs. Nufus,
Hayatun. Passangers of flight 372Z to Budapest...”
Belum sampai di bangku yang dijadwalkan menjadi miliknya hingga Budapest sana, seorang
Kaukasian bertubuh gempal mendahului langkah Hayya. Laki-laki dengan tinggi
sekitar 180 cm itu berwajah khas Eropa namun anehnya ia menggunakan turban dan
gamis putih panjang serupa para penumpang Timur Tengah. Pergerakannya terburu,
wajahnya panik memerah, agaknya namanya ada pada deretan nama di final call
tadi. Sekonyong-konyong si Kaukasian menempati bangku yang seharusnya milik
Hayya.
’’Excuse me, sir! This is my seat” Hayya
meminta haknya, tapi si lawan bicara tak bereaksi. Hanya matanya menatap
sejurus pada mahasiswa Indonesia itu sambil mengankat bahu dan kedua tangan
setengah mengembang kearah yang berlawanan. Mungkin dialeknya yang masih
Sumatera sekali membuat si bule tak mengerti, pikir Hayya.
’’My seat!” Hayya mengulang,
kali ini sambil menunjukkan boarding pass.
’’Ouch, Bocsánat!” Jawab si
Kaukasian sambil berdiri dari kursi dan memeriksa nomor kursinya. Ia pindah ke
kursi tepat di sebelah milik Hayya. Tanpa senyum, beku dan dingin, ternyata
bukan udara saja yang demikian, orangnyapun ikut mengadopsi musim rupanya.
Perjalanan tanpa
percakapan, rasanya kering sekali. Tapi apa yang bisa diperpanjang dari
percakapan berbahan dasar bahasa tubuh setelah lewat tengah malam. Ruang gerak
terasa begitu sempit karena otot-otot mulai mengerut meminta jatah istirahat,
belum lagi otak mulai bekerja lamban karena tak terbiasa bekerja dua kali lipat
di jam ia terbiasa memikirkan mimpi. Terlebih lagi, buku yang biasa bertengger di
tas kecilnya sementara harus terusir demi kesesuaian berat bagasi. Pepatah arab
tentang buku sebagai teman duduk yang paling baik benar rupanya dan kali ini
Hayya kehilangan teman baiknya. Maka, tak ada jalan lain, selain memejamkan
mata.
Sudah menjadi
kebiasaan bagi perempuan muda itu membawa bahan bacaan saat berkendara dalam
waktu panjang, bukan mobil tentunya. Menyadari ini, ia kembali merutuki
keputusannya mengungsikan buku ke dalam koper. Sebut saja berkereta dari
Surabaya ke Jakarta misal. Logam panjang berongga yang menggelindingkan rodanya
pada rel itu ampuh meredam goncangan, membuat perjalanan terlalu rugi jika
terlewat begitu saja. Hobi ini baru ia tekuni setelah kereta ekonomi AC
Jakarta-Surabaya beroperasi, dimana penumpang tidak sepadat sebelumnya. Nyaman,
adem dan tenang, begitu kesan yang didapat setelah kereta ini mulai merayap
menyambungkan kota-kota di pulau jawa. Tapi sayangnya, transformasi kereta
kelas ekonomi juga ikut mereduksi ruang komunikasi dan cerita, dulu ketika
penumpang masih tidak terbatas, ruang oksigen dalam kereta yang sempit dan hawa
panas berbau keringat membuat mata enggan terlelap. Entropi meningkat, keacakan
berhadiah percakapan-percakapan tak biasa selalu saja menjadi cerita indah
setelah turun dari pintu kereta. Hayya pernah mendapuk kereta ekonomi (bukan
ber-AC) sebagai ladang syukur dengan pintu kereta sebagai musim panennya.
Bagaimana tidak, setelah bercerita berbagai macam hal dengan orang dari
berbagai latar belakang yang kebanyakan kaum marginal, kau akan di hadiahi rasa
betapa beruntungnya hidupmu, beruntung yang teramat sangat ditambah udara segar
di pintu kereta membuat panen syukur jadi berlipat-lipat.
’’Excuse me...”
Suara pramugari yang lembut membuyarkan tidurnya, tapi baterainya yang masih low charge membuat kesadarannya tidak mencapai 100%.
”hmm” Hayya hanya
mengeluarkan lenguhan setengah sadar sambil mencoba menatap pramugari yang
menyodorkan sesuatu. Oh, menu Rupanya.
”What would you
like to have?!” begitu kata mba pramugari berhidung mancung dan bermata hijau
zambrut itu pada Hayya. Agaknya ini sudah pertanyaan kesekian, hingga bibirnya
yang seksi bak Angelina Joulie tidak lagi tersenyum.
”hmm” Hayya
menunjuk menu beef tanpa berkata
apa-apa. Itu untungnya naik maskapai timur tengah, kau tidak harus khawatir
dengan kehalalan makanan yang ditawarkan, tapi untuk minuman tetap saja,
hati-hati ada sebagian list yang merupakan alkohol kelas kakap.
Sesaat kemudian beef steak lengkap dengan appetizer dan dessert sudah tersedia di meja berukuran hemat menggantung di atas
paha Hayya. Makan sesaat setelah bangun tidur bukan kronolog yang baik rupanya,
lambung masih belum seratus persen mau bekerja, belum lagi bagi lidah, menu ini
terbilang baru, bau parsley yang kuat terbang rendah di rongga-rongga sistem
pernapasan, menciptakan kotak rasa baru yang masih butuh latihan frekuensi agar
terbiasa. Ha, iya, Fregrance! pernah
merasa bahwa terkadang bau-bau tertentu akan membawamu pada memori dimasa lalu,
kemudian ada sensasi lain dari rasa yang membuatmu seolah-olah berada didimensi
waktu dimana bau itu pertama singgah di indra penciumanmu, atau katakanlah
bukan pertama tapi bekesan. Nah, kali ini parsley memiliki itenari perjalanan
rasa yang membosankan, tak satupun loker masa lalu yang ia hadiakan setelah
mengubek seluruh dokumen rasa yang ada dalam memori Hayya. Mungkin ini waktunya
membuka ruang untuk memori yang baru.
”Budapest?” Si
Kaukasian sebelah Hayya kembali angkat bicara
”Yes, but then I need to continue to Miskolc”
Kata Hayya sambil berusaha tersenyum
”hmm, hmm” kata si
Kaukasian yang masih belum diketahui namanya, adalah hukum alam jika reaksi
hanya akan timbul karena aksi, kita harus berterima kasih pada Newton rupanya,
karena hukumnya tak saja berlaku di dunia Fisika.
”Hayya” kata ku
sambil menyodorkan tangan. Si Kaukasian menyambut tanganku, tapi masih terdiam
”My Name!” kataku lagi sambil menunjuk diri sendiri.
”Oooh” Katanya
panjang ”Ahmad” tambahnya. Hayya memiringkan kepala tidak percaya. ”Moeslim”
katanya lagi, menegaskan, menangkap keraguan Hayya. ”speak arabic?” Ahmad bertanya, ya Kaukasian di sebelah saya ini
sedari tadi berbicara dengan bahasa yang sama sekali asing, dan dari awal saya
menebak kalau dia mungkin Hungarian.
”Laa, laa astathii’” jawab Hayya
setelah menguras sisa-sisa memori pelajaran Bahasa Arab di madrasah dulu. Ia
sama sekali tidak yakin dengan apa yang baru saja ia lontarkan.
”Tahadatsti!” kata
si Kaukasian sambil mengembangkan senyum, rupanya sepatah kata dalam makna yang
saling dimengerti membuat iklim bertetangga berubah hangat. Si Kaukasisan mulai
cerewet mencampur bahasa Inggris, Arab dan satu bahasa lagi yang tidak
sedikitpun dimengerti Hayya, lagi-lagi sepertinya itu Hungarian. Entahlah, mungkin saja begitu.
Sedikit yang Hayya
tangkap dari percakapan multi-bahasa dengan si Kaukasian sebelum kantuk
menguasai. Rupanya, tubuh yang (hanya) 180 cm itu adalah warisan kakeknya yang
merupakan veteran tentara Rusia (Soviet pada masanya) yang jatuh cinta pada
perawat Hongaria keturunan Turki. Slovakia
camp disebut sebagai tempat pertemuan keduanya, tempat dimana pada masanya
laki-laki usia kerja Hongaria dipekerjakan paksa oleh tentara Soviet untuk
membangun Slovekia. Tetapi cinta memiliki perangnya sendiri, tidak peduli
semurka apa satu negara pada negara lainnya, tetap saja cinta pemenangnya. Maka
tahun 1946 menjadi saksi seorang tentara Rusia berislam dan memperistri seorang
gadis Hungarian keturunan Turki di Slovekia. Sayangnya sang tentara terbunuh
sebelum sempat menggendong anak pertamanya, Nemeth Duscha Medvedev, ibu Ahmad.
Ahmad lahir dan
besar di keluarga Katolik ayahnya yang asli Hongaria. Namun memutuskan berislam
sesaat setelah menjadi mahasiswa dan mulai mempelajari bahasa arab dari seorang
imam di salah satu mesjid di Budapest. Menurutnya bahasa arab adalah kebutuhan
dasar untuk bisa berislam secara sempurna. Bahkan manuskrip-manukrip tua di
perpustakaan-perpustakaan besar di Eropa, menurut Ahmad masi banyak yang
berbahasa arab. Hayya malu, bahkan dirinya yang berislam sejak lahir dan
dikelilingi lingkungan yang boleh dikatakan islami selama lebih dari seperempat
abad, belum menguasai bahasa yang menjadi induk segala bahasa dunia itu. Lebih
parah lagi, seorang Hayya yang mengakui Al-Quran sebagai pedoman hidup, bahkan tidak
punya 5% kosakata Bahasa Arab di kepala. Lantas masih pantaskah, ia pongah
dengan keislamannya.
Dari Ahmad, Hayya
jadi tau bahwa di Hongaria bahkan pada makanan yang tidak berbahan dasar szertes (babi)pun kita sebagai muslim
tetap harus bertanya, adakah minyak yang digunakan minyak nabati atau justru
lemak hewani karena lumrah bagi orang Hongaria mencampur minyak goreng dengan
lemak hewan, terutama babi. ”Only, if you strick to the Halal food” tambahnya.
Ahmadpun mengurai nama-nama toko penyedia daging (termasuk daging ayam) halal
di sekitaraan Budapest, namun ia belum bisa memastikan apakah toko-toko tadi
ada di kota tujuan Hayya, Miskolc. Jika tidak, perempuan itu akan dihadiahi
perjalanan enam jam pulang pergi jika ingin menyetok makanan halal. Ahmad
menyarankan untuk segera mencari masjid di kota tujuan, karena biasanya imam
masjid menyediakan daging halal.
Setelah
berkomunikasi dengan berbagai bahasa termasuk bahasa tubuh, keduanya mulai
merasakan kelelahan akibat otak yang bekerja rodi menterjemahkan bahasa menjadi
yang dapat dimengerti. Dua jam menuju
Budapest sudah berlalu, menyisakan dua jam berikutnya yang dipaksa tunduk pada
kantuk yang menggantung di pelupuk mata. Tidak ada yang istimewa pada sisa perjalanan
yang dihabiskan dengan mata terpejam, kecuali hati yang terus bertanya-tanya
tentang banyak hal bahkan tentang bagasi yang penuh bumbu dapur khas Indonesia.
”Hayya! Landing on
progress!” kata Ahmad pada Hayya yang masih setengah sadar. ”Ahlan..” katanya lagi di sambung
kosakata yang tidak tertangkap telinga Hayya. Mungkin sebenarnya terdengar,
tapi karena loker memorinya belum tersedia, kata-kata itu mental tak tau rimba,
mungkin. ”Phone number!” kata si
Kaukasian lagi sambil menyodorkan kertas berisi nomor telepon genggam berawalan
+36. Hayya yang masih mengantuk merespon lambat, namun tetap berhasil
memasukkan kertas kecil itu, acak kedalam salah satu barang bawaannya.
Keduanyapun berpisah setelah pesawat mendarat sempurna.
”Mrs Nufus Hayatun,
passanger of Qatar airlines 372Z from Doha. Can you please open your lugages?!”
kata seorang petugas imigrasi bandara sesaat setelah urusan imigrasi rampung.
Rasa tidak nyaman mulai menjalari sensor-sensor panik Hayya. Namun pasrah,
dibukanya juga barang-barang bawaannya.
bersambung........
0 komentar: